Membayangkan diri dengan rambut beruban putih, wajah
mengerut sana-sini, tubuh ringkih dijajah lemah, mungkin juga dengan senyum
yang tidak indah lagi karena gigi yang tanggal, heheh… rasanya asing tapi
nyata. Itu, jika usiaku sampai di saat itu, saat aku menua.
Bayangan nyeleneh masa tua itu bertamu di otakku saat aku
sedang mengunjungi nenek di Bone, kota kelahiran bapak. Kemarin.
“Indo”, begitu kami para cucu dan cicit memanggil
perempuan tua yang nafasnya melintasi usia 80 tahun itu, mengesankan bagiku
melihat dan menyadari bahwa tubuh kurus dan ringkih itu menyimpan kekuatan yang
‘lebih’ untuk menjalani masa tua dengan indah tanpa merepotkan orang lain, hm,
amazing!
Dua hari dua malam di rumah Indo, menjadi kesempatan
untukku mengamati hari-hari tuanya. Dan hatiku tak henti berdecak kagum pada
perempuan sederhana yang telah melahirkan dan membesarkan lelaki yang kini
kupanggil Bapak.
Mudah-mudahan aku tidak salah bahwa shalat lail bapak yang
begitu tegak didirikannya di pertiga malam adalah hasil didikan Indo. Pun
itu shalat dhuha dan persahabatan dengan bacaan Al-quran…
Untuk urusan ibadah, Indo benar-benar … Subhanallah,
sesuatu…
***
Hal lain yang juga berhasil mencuri kekagumanku adalah kesederhanaan
yang alami dan tersimpan rapi di rumah Indo. Di kolong rumahnya, ada banyak
ranting dan potongan kayu bakar yang tersusun rapi, meskipun ada kompor gas, indo
masih sangat rajin mengumpulkan ranting kayu yang berserakan di halaman
rumahnya dan masih mengutamakan memasak dengan menggunakan kayu bakar dari pada
kompor gas…
Sarapan andalanku jika sedang berada di rumah Indo adalah
pisang goreng peppe, lengkap dengan sambel jeruk dan segelas teh/ susu.
Ah ya, saat menggoreng pisang itu, aku mencium aroma minyak goreng yang wangi,
selidik punya selidik, minyak goreng tersebut dibuat sendiri oleh indo, jadinya
untuk urusan minyak goreng, indo teramat sangat jarang membelinya. Heheh,,,
alami sekali… saat baru tiba, aku mendapati sebaskom besar kelapa yang baru
saja selesai dikupas dan dibelah menjadi beberapa bagian untuk diparut, usai
diparut, santannya diperas lalu dimasak, dimasaknya lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
sekali, dan indo dengan sabar duduk di sisi wajan besar yang ditopang batu
bersama asap yang mengepul memerihkan mata, menjaga kayu bakar tetap menyala
dan sesekali meniup-niup bara api agar tetap berkobar…. Huahhh, kasihan tapi
kagum…
Menu sarapan yang selalu kurindukan :) |
***
Seperti nenek pada umumnya, selalu ingin memanjakan cucu
yang sudah jauh-jauh datang berkunjung… maka siang itu, Indo membuat kue
tradisional berbahan jagung, santan, dan gula merah, yang proses membuatnya
benar-benar melelahkan dan amat merepotkan untuk ukuran diriku… tapi tetap saja, kue hasil sentuhan tangan Indo
meleleh di mulut, maksyuus… heheh.
Ah, untuk urusan
masakan, juga ada Puang Sitti, saudara bapak yang tinggal menemani Indo di
rumah sederhana ini. K’miftah mengaku sangat menyukai semua masakan Puang
Sitti, meskipun hanya menggunakan rempah-rempah sederhana dan diolah tak kalah
sederhananya, tapi soal rasa….. lidah
gak bisa bohong… (heheh, emang mie sedaap…)
Puang sitti lagi masak... |
***
Ini aksi Indo yang berhasil tertangkap kamera... ( ???' ) heheh..
Menikmati makan siang... |
Shalat... Dzikir.... Doa... |
Bersama Angga, mengolah bahan kue... |
Mengulek sambel ... |
#Tentang masa tua yang indah dan sehat, Indo memberiku gambar berbingkai nyata yang utuh menginspirasiku...
0 Comments