# Sebenar cinta, itu adalah cermin seorang ibu. Debu dan retak tak menjamah di sana, meski jika engkau seniman yang menjadikannya kanvas berpeluh warna, ia tetaplah kaca bening yang akan membias dirimu utuh tanpa kerat palsu dan dusta.

# Lalu sabda yang menyebutkannya kedua namun tak meninggalkan bakti pada haknya, adalah cermin bapak. Desis menyesap segelas teh di suatu senja, ah… tidakkah kau tahu? Ia sedang menggumam doa pada waktu yang mungkin akan merampas dirinya darimu… anak-anaknya yang pelupa berat betapa Ia masih  ingin mencintaimu sebagai kanak-kanak yang berjalan menggemgam ujung jari telunjuknya. Dulu… dulu sekali.

# Ada saudara yang tidak butuh rahim dan darah yang sama. Cermin itu milik seorang sahabat. Maka sejauh jarak membawamu, pun secepat putaran waktu yang enggan menoleh padamu, Ia tak pernah berjarak lebih dari 5 cm darimu. Lihatlah ia sejenak, mungkin engkau lupa bagaimana menghargainya….

# Lalu cermin ini, adalah penggenap separuh agama. Sebut ia apapun sekehendakmu, tapi ia tak hanya cermin. Ia pintu. Syurga dan neraka.