Telah menjadi kenyataan umum, dalam proses menuju pernikahan pihak ikhwan dan pihak akhwat saling mempertanyakan keadaan masing-masing. Hal yang lumrah untuk menjadi pertanyaan dari pihak akhwat selain masalah iman juga pekerjaan, kemungkinan nafkah yang dapat diberikan pihak ikhwan setelah menikah. Hal ini sangat relevan dengan kewajiban yang secara jelas tertulis dalam AlQuran, bahwa kaum lelaki dilebihkan atas kaum perempuan oleh harta yang mereka nafkahkan.

Sebaliknya, banyak terjadi pihak ikhwan cenderung mempertanyakan kondisi akhwat dalam hal kemampuan menangani pekerjaan rumah. Memasak, mencuci, dan sederet hal lain menyangkut kerja rumah tangga. Padahal, sejatinya, kewajiban seorang istri hanya 2 : melayani suami & mendidik anak.

Jika peran atau kewajiban seorang suami tertulis jelas dalam Alquran, maka kewajiban seorang istri menjadi luas maknanya saat dikatakan “taat pada suami”. Sehingga menjadi kelaziman di mana istri menjadi penanggung jawab penuh semua pekerjaan rumah tangga atas nama “ketaatan” tersebut. Kerja-kerja rumah tangga yang terlihat sepele itu sesungguhnya telah menguras banyak tenaga seorang istri yang berakibat tidak maksimalnya istri saat melayani suaminya dalam hal jima’. Ketidakpuasan ini seringkali menyulutkan masalah baru dan meletakkan titik salahnya di pundak istri. Sama halnya pada kewajiban mendidik anak. Dalam keadaan lelah setelah seharian mengerjakan pekerjaan rumah, waktu untuk mendidik anak menjadi tidak optimal. Terlebih di tahun-tahun pertama seorang anak di mana ibunyalah yang menjadi madrasah pertama baginya.

Dua kewajiban utama ini akhirnya tidak terpenuhi secara benar akibat kelaziman tradisi yang mewariskan seluruh kerja rumah tangga di tangan istri. Membersihkan rumah, memasak, mencuci, menyetrika, jika masih dikategorikan sebagai bentuk pelayanan terhadap suami maka hendaklah itu ditangani dengan tenaga pembantu, cukuplah istri menjadi pengatur, bukan pembantu. Sehingga tenaga dan waktu yang dimiliki istri terpusat pada kewajibannya yang utama, terlebih jika ia adalah aktivis dakwah, maka potensi SDM yang dimiliki dakwah ini tidak terkungkung oleh kerja seorang pembantu.

Kita tentulah sudah membaca sepenggal kisah ketika seorang sahabat datang menemui Khalifah Umar bin Khattab untuk mengadukan istrinya. Setibanya di rumah Khalifah, ia mendengar istri Umar bin Khattab mengomel lebih dari istrinya dan Umar diam saja. Ketika ditanya mengapa Beliau diam saja padahal ia adalah seorang yang tegas dan keras, Umar bin Khattab menjawab : ” sesungguhnya aku rela menanggung perlakuan seperti itu dari istriku, karena adanya beberapa hak yang ada padanya. Istriku memasak makananku.  Ia selalu membuatkan roti untukku. Ia selalu mencucikan pakaian-pakaianku. Ia menyusui anak-anakku, padahal semua itu bukan kewajibannya. Aku cukup tentram tidak melakukan perkara haram lantaran pelayanan istriku. Karena itu aku menerimanya sekalipun dimarahi. ”

Menelisik lebih jauh mengenai peran seorang istri dalam pandangan madzhab, maka akan kita temukan Lima madzhab terkemuka (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanabilah dan Az-Zhahiri) kesemuanya sepakat bahwa kerja rumah tangga bukanlah kewajiban seorang istri. Bahkan menghadirkan pembantu adalah juga bagian dari kewajiban suami. Maka, jika suami belum mampu secara financial untuk mengahadirkan pembantu, maka wajib baginya untuk mengambil alih sebagian dari pekerjaan rumah tangga tersebut dan tidak membebankan keseluruhannya kepada istri.

Berikut kutipan dari Madzhab Hanafi :
Imam Al-Kasani dalam Kitab Al Bada’i menyebutkan bahwa seandainya suami pulang membawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah,lalu istrinya enggan memasaknya,maka si istri tidak boleh dipaksa.Sebab suaminya harus membawa makanan yang siap santap.
Dalam Al Fatawa Al Hindiyah fii Fiqhil Hanafiyah disebutkan bahwa jika seorang istri berkata ”saya tidak ingin memasak dan membuat roti”, istri tidak boleh dipaksa,dan suami harus memberinya makanan siap santap atau mencari pembantu untuk memasak.
Adapun pada Madzhab Syafi’i :
Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy -Syirazi menyebutkan bahwa tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci, dan bentuk pelayanan lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta’), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.
Kerja Dakwah Menanti.

Setelah mengurai kewajiban utama yang dimiliki seorang istri, kiranya akan lebih mudah bagi kader pasangan suami istri untuk  melangkah menjawab panggilan dakwah. Suami akan lebih ringan melepas istrinya mengisi liqo, menghadiri rapat struktur, kegiatan salimah, dan serangkaian agenda dakwah yang lain tanpa harus mempermasalahkan rumah yang berantakan, cucian menumpuk, makanan belum terhidang, dan sekelumit kerja rumah tangga yang belum terselesaikan.

Sesungguhnya, tulisan ini lebih ingin menekankan pada pengembalian kewajiban utama seorang istri, yakni melayani suami dan mendidik  anak. Merefresh kembali pemahaman suami akan letak kerja rumah tangga yang tidak seharusnya berkarat di tangan istri.

Mungkin akan lebih bijak bagi seorang suami untuk melihat potensi yang dimiliki istrinya berkaitan dengan aktivitas dakwah, bukan kemampuan kerja seorang pembantu. Bagaimanapun, kerja rumah tangga meskipun telah menjadi kelaziman untuk dikerjakan oleh istri, namun itu adalah bernilai sedekah baginya. Bukan kewajiban.   Wallahu ‘alam .....

Rafiah. H
Sabtu, 20 April 2013