Sekian waktu, saya memakai mulut saya lebih banyak dari tangan saya untuk mengeluarkan kata. Itu artinya, saya mulai lebih banyak bicara daripada menulis. Apa yang saya dapat? Rasa sakit bertubi-tubi.

Dahulu, menulis bisa jadi hal paling melegakan dari sederet masalah hidup yang lalu-lalang dikeseharian saya. Menulis sama dengan melepaskan, hanya saja tanpa suara. Tidak berisik. Tapi kemudian saya mulai bicara banyak hal, dan lupa tentang pribahasa dari kelas SD bertahun-tahun lalu : "Tong Kosong Nyaring Bunyinya".

Saya selalu menulis, untuk seseorang. Saat saya menyadari apa yang saya tulis tak pernah sampai -hanya sekedar melepas rasa yang menyesak di dada- saya kemudian mulai bicara. Ketika bicara, kata-kata seperti muntahan kotor keluar dari mulut saya. Itu menyakiti orang yang mendengarnya, dan saya pun mendapat rasa sakit yang lain. Dan karena bicara itulah, saya dan dia mulai saling menyakiti dengan cara masing-masing diri.

Saya tidak tahu mengapa juga menulis ini. Mungkin ini bagian akhirnya. Ketika seorang penulis menutup klimaks novelnya dengan satu tarikan kesimpulan. 

Sedang saya, inilah kesimpulannya : Saya diam saja.