”Seorang wanita belumlah dikatakan ibu jika ia "hanya" melahirkan anaknya,”
Itu sepenggal
kalimat dari film a moment to remember yang ku nonton 3 tahun lalu dan mengiang
ngiang dalam ingatanku. Mungkin benar, mungkin juga tidak, tapi bagaimana seorang
wanita di sebut ibu jika ia membuang bayinya di bak sampah sebab ia ada karena
perzinahan, atau di teras-teras mesjid, depan pintu panti asuhan, atau yang
lebih heroik, di rumah orang kaya yang tak memiliki keturunan agar anaknya
kelak hidup bahagia. Yah,…. Seorang wanita layak di sebut ibu jika dengan hati,
tangan dan pikirannya berpeluh-peluh ‘membesarkan’ anaknya. Maka
–‘membesarkan’- disini bukan lah melepas waktu menukar umur disatu tahun ke
tahun berikutnya, namun membesarkannya hingga menjadi pribadi yang tak sekedar
benalu dalam kehidupan. Dan pendidikan adalah keniscayaan.
Lalu
kapan di mulainya pendidikan anak tersebut?
Tentu!
Pendidikan anak dimulai sejak kita, (laki2 & perempuan) memilih pendamping
hidup.
Inilah bahasa luas yang
di maksud Rasulullah SAW dalam sabdanya : Seorang wanita itu dinikahi karena 4
hal; karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena
agamanya. Maka utamakanlah yang baik pengetahuan agamanya niscaya kamu menjadi
orang yang beruntung. Sebab tak lagi
diragukan, bahwa madrasah pertama bagi anak adalah ibunya.
Dalam
banyak buku, artikel, dan pengalaman mendidik anak dari ummahat2 lain, saya
kemudian mendapat 3 hal penting yang paling mendasar dalam membentuk pribadi
anak. PRINSIP adalah hal pertama.
Mengapa
prinsip? Karena hidup adalah kumpulan pilihan, dan prinsip akan memegang anak
dalam menentukan pilihan nya. Ketika
kelak anak dihadapakan pada paramaeter
yang berbeda-beda mengenai suatu ideologi, baik itu ideologi “kebebasan” maka
tetaplah keyakinan itu harus terbingkai dalam perinsip yang diajarkan Allah dan
Rasul Nya, bekal prinsip inilah yang senantiasa akan membimbing generasi kita
‘tuk tidak menyimpang dari jalan fitrahnya, sebab pada hakikatnya
prinsip-prinsip Allah SWT dalam agama ini tidaklah tercipta melawan sifat
dasar/fitrah manusia.
Hal kedua yang menjadi penopang kesempurnaan pendidkan anak dalam keluarga adalah qudwah/ keteladanan. Kehadiran Rasulullah SAW dalam proses menerbitkan cahaya agama islam tidaklah semata berupa teori dan rumus-rumus kehidupan, beliau hadir dengan kepribadian yang digelari Allah sebagai ‘Uswatun hasanah’. Faktor qudwah ini demikian penting bagi proses pendidikan anak, sebab anak membaca prinsip dan nilai-nilai islam melalui keteladanan yang ia dapatkan dari madrasah keluarganya, mereka lebih terkesan pada apa yang mereka lihat dari pada yang didengar. Seperti halnya tradisi-tradisi yang terbangun dalam keluarga, tak lepas dari pola yang membentuknya. Seorang anak yang gemar membaca, sedikit banyak terbangun dari kebiasaan orang tua yang bersahabat dengan buku.
Penyempurna yang ketiga
adalah lingkungan. Sebuah film
berjudul ‘Tarzan’ yang menceritakan kehidupan anak manusia yang tertinggal di
hutan, sehingga bertingkah laku layaknya hewan-hewan hutan sebab ia dibesarkan
oleh mereka, merupakan gambaran tersendiri bagaimana lingkungan amat
berpengaruh dalam pembentukan pribadi anak-anak kita. Bagaimanapun kerasnya
orang tua dalam menerapkan prinsip dan menanamkan qudwah dalam diri anaknya,
jika tidak diimbangi dengan lingkungan yang sefikrah dengan prinsip dan qudwah
tersebut, maka akan sulit mencapai klimaks penyempurnaan pendidikan anak
seperti yang kita harapkan. Kalaupun anak tidak mengikuti keburukan yang
berjejal dalam lingkungannya, paling tidak ia telah terbiasa melihat keburukan
yang dapat melemahkan kepekaannya terhadap hal-hal yang buruk.
Lalu pada akhirnya,
ketika prinsip dan qudwah berbentur pada lingkungan yang tidak mendukung,
disinilah da’wah kita memperjuangkan keberadaannya, saat bagi kita tuk keluar
dari rumah peradaban kita, mewarnai lingkungan namun tidak terwarnai hal-hal
buruk lingkungan, sehingga tak hanya generasi rabbani yang terbentuk, namun
masyarakat madani pun terwujud.
# retensi peran istri & ibu dalam keberadaanku.
0 Comments