Sesederhana apapun sebuah rumah, ia adalah tempat paling
dirindu untuk pulang : pintu yang selalu terbuka menyambutmu,
jendela-jendela kaca yang bingkainya terkadang menderit dipaksa menari oleh
angin, dinding-dinding yang menyimpan kisah, atau lantai tempat merebahkan
lelah, semuanya menyimpan rindu.
Aku ingin menjadi seperti itu untukmu.
Sebuah rumah.
Jika dunia telah melelahkanmu, pulanglah sejenak dalam ruangku, menghamba, meminta kekuatan dariNya. Aku ‘kan menemanimu di sana.
Pun jika kau pergi terlalu jauh, dan lupa untuk pulang, aku
tetap akan di sini, menanti di atas tanah yang berganti kering dan basah oleh
musim, dan saat akan pulang, kuharap kau tidak lupa jalannya, sebab telah
kupahat kenangan pada tiap kelok jalan ke arahku, agar kau tidak tersesat, dan
aku akan kembali menyambutmu dari balik pagar bambu yang mulai lapuk, seperti
lalu-lalu.
Dan jika kau ingin, saat bersandar di ruang tengah, akan
kuminta dinding-dinding itu berkisah tentang anak-anak kita yang beranjak
meninggalkan kanak-kanak mereka, melangkah dari Alif, Ba, Ta, menjadi manusia dengan kesadaran diri yang
mendewasa. Bukankah kau kehilangan banyak waktu bersama mereka sebab menggenapi
keping bahagia selalu meniscayakan pengorbanan...
Menjadi rumah bagimu, adalah caraku mencinta.
Mengantar langkahmu, dan merindu datangmu. Kuharap kau pun
rindu untuk pulang.
Malam larut, memikirkan menjadi apa diriku bagimu.
3 Comments
Merindingka baca'i.....
ReplyDeleteSaya sempat jadi 'terminal' tapi saya lebih suka menjadi 'rumah' seperti tulisanta.
janganmi sampai merinding deh,,,, hehheh.. (semoga memberi makna), itu saja... :)
ReplyDeleteBah...
ReplyDeleteTulisanta semuanya penuh makna. Saya suka jalan-jalan di sini, sebagai manusia yang haus akan makna. hehehe