Sesederhana apapun sebuah rumah, ia adalah tempat paling dirindu untuk pulang : pintu yang selalu terbuka menyambutmu, jendela-jendela kaca yang bingkainya terkadang menderit dipaksa menari oleh angin, dinding-dinding yang menyimpan kisah, atau lantai tempat merebahkan lelah, semuanya menyimpan rindu.



Aku ingin menjadi seperti itu untukmu.
Sebuah rumah.

Jika dunia telah melelahkanmu, pulanglah sejenak dalam ruangku, menghamba, meminta kekuatan dariNya. Aku ‘kan menemanimu di sana.

Pun jika kau pergi terlalu jauh, dan lupa untuk pulang, aku tetap akan di sini, menanti di atas tanah yang berganti kering dan basah oleh musim, dan saat akan pulang, kuharap kau tidak lupa jalannya, sebab telah kupahat kenangan pada tiap kelok jalan ke arahku, agar kau tidak tersesat, dan aku akan kembali menyambutmu dari balik pagar bambu yang mulai lapuk, seperti lalu-lalu.

Dan jika kau ingin, saat bersandar di ruang tengah, akan kuminta dinding-dinding itu berkisah tentang anak-anak kita yang beranjak meninggalkan kanak-kanak mereka, melangkah dari Alif, Ba, Ta, menjadi manusia dengan kesadaran diri yang mendewasa. Bukankah kau kehilangan banyak waktu bersama mereka sebab menggenapi keping bahagia selalu meniscayakan pengorbanan...

Menjadi rumah bagimu, adalah caraku mencinta.
Mengantar langkahmu, dan merindu datangmu. Kuharap kau pun rindu untuk pulang.




Malam larut, memikirkan menjadi apa diriku bagimu.