Cinta, sebenarnya bukanlah sebuah kebetulan. Ia memiliki rahim, tempat lahir, dan akan mudah bagi kita menyebutnya sebagai “alasan”.
Yah, jika itu adalah cinta, seharusnya ia memiliki alasan. Dan semakin kuat alasan itu, semakin dalam pula cinta itu.

Bacalah kembali sejarah cinta Nabi Yusuf kepada Zulaikha, dalam rahim cinta mereka terbentuk embrio paling mendasar ; RESPEK.

Cinta Zulaikha berawal dari penolakan tegas Nabi Yusuf ketika ia menggodanya. Bagaimana bisa seorang pemuda dengan masa lalu sebagai budak, di pungut lalu menjadi pelayan istana itu dengan gagah menolak tawaran seorang permaisuri berparas jelita?

Ada sesuatu pastinya. Yang meskipun membingungkan tapi sekaligus mengagumkan bagi Zulaikha. Itulah karakter, sebuah prinsip yang teguh. Nabi Yusuf adalah salah satu dari sekian banyak kepribadian yang dapat berdiri tegak, tidak seperti kebanyakan orang, ia menarik meskipun memiliki jarak ; seperti magnet. 
 Dan hal ini telah membentuk sebuah embrio ; Zulaikha respek kepadanya.

Kutub magnet yang lain adalah ketulusan Zulaikha. Ia menanti Nabi Yusuf terbebas dari penjara dengan pensucian diri. Bukan untuk menebus kesalahannya, (sebab tak ada alasan bagi permaisuri istana untuk merasa bersalah pada seorang budak), melainkan untuk mengukuhkan “embrio” cinta yang  telah tumbuh, ia tahu alasan mengapa ia jatuh cinta, dan ia menghargai itu secara nyata.

Nabi yusuf dan zulaikha saling membaca.

Keduanya memahami “sesuatu” yang dimiliki masing-masing diri. Karakter, Kekokohan, Prinsip, Nilai, Harga, Mutual, yang keseluruhannya telah membentuk embrio alasan untuk jatuh cinta, berkembang dalam rahim yang memiliki visi dan misi , dan lahir menjadi Legenda cinta sepanjang sejarah.

Dan setiap kita memiliki rahim tersebut, periksalah.... mungkin ia sedang membentuk embrio cacat. Embrio kecantikan, kegagahan, kekayaan, pangkat, dan kedudukan.

Demikian pula antara Rasulullah dan Ummul Mukminin Khadijah.

Dia (Khadijah) beriman kepadaku disaat orang-orang mengingkari. Ia membenarkanku disaat orang mendustakan. Dan ia membantuku dengan hartanya ketika yang lain enggan. (HR. Ahmad, Al-Isti’ab karya Ibnu Abdil Ba’ar)

Ummul Mukminin Khadijah mencintai Rasulullah dengan, harta, Jiwa dan Segenap kemampuannya. Apakah itu menjadi “apa adanya” bagi Rasulullah sehingga sepeninggal Khadijah Rasulullah terus menyanjungnya tiada henti? Tentu tidak, itu bukan “apa adanya”, itu adalah “sesuatu”.

Sesuatu yang sering kita lupakan. Sesuatu yang terkadang menjadikan cinta kita cacat jika ia adalah benih embrio yang gagal. Sesuatu yang terbentuk dalam rahim cinta. 

Sesuatu bernama Alasan. Akar dari sebuah kehidupan. 


Inspirasi dari sebuah pengakuan "aku mencintaimu apa adanya?". bukankah setiap nilai memiliki harga yang tidak "apa adanya".