Bahagia.
Pernah, kukira itu ada hanya ketika tawa dan rasa manis
menghinggapi hati dan hidupku. Tapi ada
lelucon tentang kebahagiaan sejak takdirku menjumpaimu di simpang jalan
waktuku.
Lelucon itu adalah dirimu. Terkadang dalam rasa paling
derita, ada sebentuk bahagia yang menghambarkan kelabu di langitku, aku tidak
tahu bahagia macam apa yang mengusik kedudukan derita hingga aku tak mengenali
rasaku sendiri.
Apakah aku sedang
sedih saat seharusnya bahagia, ataukah harusnya aku bahagia meskipun terasa sedih?
Biarkan saja ketidak-warasanku menjawab kebodohan ini.
Dan lagi,
Masih ada lelucon lain tentangmu. Entahlah,,, tapi
sebenarnya ini tentangku.
Sebelumnya, -maksudku, sebelum mengenalmu- aku paling tahu hal apa saja yang membuatku bahagia. Tapi semua simpul itu putus dan berganti satu benang merah, dirimu.
Duduk di hamparan
rumput dan berteduh dalam bayang-bayang rindang dedaunan pohon,
sebuah buka, pena,
dan angin menggugurkan daun senja.
Dahulu, itu adalah
syurga bagiku. Tapi sepertinya, dalam sandaran bahumu, kutemukan syurga yang
lebih hangat. Hingga jika pun rumput mengering
dan pepohonan mengeriput di musim kemarau tak menepi,
aku tahu kemana mencari musim semi yang indah.
Aku tidak tahu,
Mengapa bahagia ,
derita, dan musim yang kurindukan….. menjadi lelucon tak berarti sejak
mengenalmu.
Tapi aku tahu,
Yang bukan lelucon adalah hatiku yang mencitaimu.
Ini bukan lelucon.
Sama sekali bukan.
# dan jika tulisan ini terasa seperti lelucon, …. Tertawakan
saja…
0 Comments