Dulu, dulu sekali, sejak aku mulai mencintai kata dan menuliskan apa saja, satu-satunya yang bersedia setia padaku adalah buku diary. Atau tepatnya, aku mamaksa ia untuk setia menerima semua lampiasan cintaku pada dunia tulis menulis.

Sejak masih sebagai santri, tersebab begitu banyak hal yang tak ingin kubiar tanpa merekatnya dalam kata, aku menulis semuanya. Hanya untuk diriku.

Lalu sebuah alasan memberiku pintu untuk berhenti. Aku benar-benar berhenti menulis, tapi aku tetap mencintai kata, olehnya tanganku tak luput dari buku -dan atau apa saja-, aku membaca.

Seseorang kemudian mengambil sebuah peran dalam kebekuanku pada pena. Ia menulis, dan aku membacanya.  Ia menulis lagi dan aku membacanya lagi. Ia menulis kalimat-kalimatnya, lalu aku mengaguminya. Ia menulis sajaknya, kemudian aku mencintainya. Ia terus menulis, dan.... aku hidup!!!
Aku hidup sebagai diriku yang pernah mencinta huruf-huruf kecil yang menyembunyikan luasnya dunia dan beningnya rasa di antara spasi yang memagari jarak antara kata dan makna.


Aku kembali menulis, meski dengan patahan kata yang kikuk dan seringkali membosankan ayunan lidah saat membacanya. Aku berharap, pada suatu waktu, aku dapat menjadi layaknya seseorang itu. Yang memberi nafas pada cinta yang sekarat oleh alasan-alasan yang entah, untuk kemudian kembali merapikan hati dan menulis.

Dan jika, kembali nafasku terengah dalam mencintai kata, aku akan mencarinya. Seseorang itu. Cukup aku melihat dirinya, kemudian aku akan mengenali diriku. Sebab  padanya ada diriku yang mencintai apa yang dicintainya. Hanya dengan sebuah tamparan untukku, bahwa aku tak ingin mencintai hal dengan setengah nafas.

 Untuk itu, berbahagialah kau yang telah menghidupkan seseorang dengan bait-bait indahmu. Itulah keajaiban yang niscaya bagi seorang penulis.

Tetaplah menghidupkan, Sparkling Autumn. :)