Pukul 21.25.

Aku baru saja selesai dari rutinitas rumah tangga, hal seperti mencuci, mengepel, melipat, memasak, menyuapi anak, mencuci piring, dan semacamnya. Ketika sedang rebahan melepas lelah, janji yang batal hari ini untuk datang mengunjungimu karena kakak fathi sedang demam tiba-tiba saja mengusikku.

Di suatu siang ketika kau bercerita tentang lelah yang menghabisi rasa dan pikiranmu, juga air mata yang kau redam di balik bantal guling, serta rasa mual dari kehamilan yang tak henti mengguncang tubuhmu, sungguh, aku ingin menelan kembali semua nasehatku padamu saat itu. jika mengingat apa yang kukatakan padamu, rasanya aku sedang mengunyah batu.

“Tempat menggantung bahagia ...........”

Ya, kau ingat yang kukatakan itu? aku menasehatimu tentang tempat menggantung bahagia.
Kita ini, atau kebanyakan istri (sebut saja), menggantung bahagia pada suami. Jika seluruh kerja rumah tangga yang kita rampung dihargai, kita bahagia. Jika suami lupa menghargai,  menjadi berat bagi kita untuk bahagia.

Tapi kau bukan istri seperti itu tentunya. Kau tegar. Kau bijak. Aku belajar banyak darimu. Hal sebenarnya yang membuatmu menumpahkan air mata_meski kau sembunyikan di balik jilbabmu_ adalah sesuatu yang lebih berat dari sekedar harga-menghargai hak dan kewajiban. Itu adalah tentang hatimu, tentang istanamu yang ingin dimasuki tanpa izin, dan kau tak berdaya mengusir. Lalu kau menangis, dan aku mengunyah batu menasehatimu tentang bahagia. ah... maafkan naifku....

“Jika kau lebih memahami tentang bahagia, bahwa Allah adalah satu-satunya tempat menggantung bahagia,  tentulah kau akan tabah pada apapun .....”

Ah. Benarkah aku mengatakan itu padamu?
Mungkin aku harus menabung banyak malu untuk bekal menasehatimu, kau lebih baik dariku dalam hal mengahadapi perih. Sedang aku, yang sering kali kau minta datang mendengar keluhmu, tak lebih baik dari yang kau pikirkan.

Masalah kita mungkin tidak sama. Tapi yang terbayang dalam sunyi ketika air mata mulai membasahi tidurku,  adalah dirimu.

Aku mengingingat kau bercerita segala perihmu, dan kau menangis seperti biasanya kau menangis di hadapanku, tapi esok kemudian, kau tersenyum melanjutkan hidup. Benarlah, memang seperti itu harusnya. 

Kawan, buatlah bahagiamu sendiri. Jangan lagi menungguku datang dengan topeng bijak yang lusuh itu sekedar mengajarimu tentang bahagia. Tiba saatnya nanti, kaulah yang akan menunjukkan makna bahagia pada derita orang-orang.

Karena yang menelan banyak perih, paling tahu rasa bahagia yang nyata. Dan kaulah orangnya. 
______________________
Selamat tidur. Semoga malam ini tak ada luka.