Setelah begitu banyak hal yang kita lakukan sebagai orang tua, tentu saja harapan kita pun semakin besar terhadap anak. 

Itu adalah sebab akibat yang tidak terbantahkan. meskipun kita mengaku orang tua yang tulus, berjuang sepenuhnya tanpa berharap apapun dari kesuksesan anak, tidak dapat disangkal tetap saja tersisip rasa bahwa anak harus “membayar” meskipun dengan hal yang dasar; “menjadi anak yang patuh”.

Banyak dari kita menuduh anak tersesat saat sebenarnya, kitalah sebagai orang tua yang mulai kabur melihat arah. Ketika anak-anak tumbuh dan mulai belajar mempertahankan pendapat, mencoba hal-hal baru, melangkahi “sedikit” pagar batas yang kita tetapkan, atau berbelok ke tempat asing yang kita takutkan…. Kita dengan mudahnya menuduh mereka sesat. Padahal kitalah yang tidak mampu “melihat jalan” anak kita. 

Mereka hidup! Dengan Akal dan hati. Pikiran dan hati nurani. 
Bahkan jika kita telah mengandung mereka dalam tubuh kita selama sembilan bulan dan berjuang bersama mereka, tetap saja akan ada masa dimana pikiran kita dan pikiran mereka berbenturan. Perasaan kita dan perasaan mereka tidak searah. Kehendak kita dan keinginan mereka berseberangan. Bahkan nilai-nilai yang kita tanamkan pada mereka akan ditiup oleh pengaruh lain di luar diri kita. Teman mungkin. Lingkungan baru. 

Tapi kemudian, apakah dengan begitu kita gagal mendidik? 

Tapi kemudian, ketika masa itu apakah anak kita dosa besar? Jawabannya adalah; Kita dan anak kita sedang belajar. Rasa gagal dalam mendidik anak-anak mungkin akan menghampiri hati semua orang tua. 

Rasa gagal dalam mendidik anak nyaris menghampiri hati hampir semua orang tua. Masalah sesungguhnya bukanlah karena anak salah arah dan tidak memahami keinginan orang tuanya, tetapi sebagai orang tua, kita seringkali terlalu memaksa anak-anak kita ranum di proses ketika akarnya bahkan baru mencerna nutrisi kehidupan. 


Kita ingin-buru ingin manisnya buah pendidikan yang kita perjuangkan pada mereka. Sedikit sekali dari kita yang berlapang dada memaklumi kesalahan mereka sebagai bagian dari pendidikan, malah banyak dari kita yang terbiasa menilai mereka dengan satu perilaku buruk dan menutup mata dengan begitu banyak hal baik yang mereka lakukan. Mata dewasa kita melihat kesalahan kecil mereka sebagai dosa besar dan lupa bahwa mereka sedang bermetamorfosis. Padahal, bagian paling penting dalam proses mendidik anak adalah mendidik diri sendiri. ya. Karena mendidik manusia butuh banyak ilmu, butuh hati yang lapang, butuh pikiran yang jernih, dan tentu saja butuh doa-doa yang dirapal dengan khusyuk.

Mendidik diri bukan hanya dengan membaca tumpukan buku-buku parenting, atau menghadiri seminar-demi seminar pengasuhan, pun mencerna begitu banyak teori perkembangan anak. Sungguh bukan semata-mata itu. 
Mendidik diri juga adalah tentang memberi kesempatan anak-anak kita berproses, bahkan jika proses itu adalah jalan terjal, berkelok, penuh kerikil tajam. Dengan segala kemungkinan dalam proses mendidik anak, memang kita telah diperingatkan bahwa anak adalah makhluk yang diletakkan di antara ujian dan fitnah. Pastikan saja, kita ada untuk mereka. Pastikan hati kita penuh kemaafan untuk mereka. 

Pastikan kita tidak menyerah. 
Satu hal paling mendasar yang kiranya dapat menjadi pegangan kita adalah:

         

“Orang tua yang melihat anaknya melakukan kesalahan dan memberi mereka kesempatan untuk belajar dari kesalahan itu, memberi mereka ruang mencicipi rasa pahit keburukan yang dilakukannya, serta tetap hadir di sisi mereka untuk menerima kesalahan itu sebagai pembelajaran dalam hidupnya, kelak akan mendapati anak-anak mereka tumbuh dengan rasa berani yang dibingkai tanggung jawab, menerima kegagalan tanpa rasa putus asa, dan mampu menerima lingkungan dengan adaptasi yang positif”. 



Sekali lagi, Didiklah diri kita.
Agar di jalan kehidupan anak-anak, kita adalah petunjuk yang benar-benar mengarahkan, bukan batu sandungan yang justru menjatuhkan mereka. 

Malam diiringi rinai hujan 25 Oktober 2022