Dalam saat di hari hidupku, aku mengerti bahwa 
Bukanlah pilihan kita tuk menemuai siapa yang ingin kita temui dalam hidup ini, lalu lalang orang-orang di bawa oleh “kebetulan” yang tidak lain adalah kehendak bernama takdir.  Yang kemudian menjadi pilihan kita adalah bagaimana membina hidup dengan mereka.
Menjumpai manusia lain lalu kemudian menyebutnya sahabat, adalah proses yang dalam. Sebab tak semua yang datang dan pergi itu menyisakan percik hati untuk kelak masih dapat mengatakan padanya  “uhibbuk fi llah”.

Maka dalam keterbatasanku memahami mereka, aku mulai membaca diriku dalam diri mereka. Mencurigai keberadaanku sebagi benalu dalam hidup mereka.  Untuk orang melankolis sepertiku, kenangan adalah hal lain yang bernafas  di sisi hidupku. ia terkadang hadir begitu utuh saat tak ada teman lain kecuali rongga sepi di ujung sore. Lalu membuka album foto menjadi  hal sakral bagiku, itu tak lain adalah mantra bisu yang menghidupkan kenangan yang tertidur beberapa saat sebab kenyataan kenyataan baru tak memberinya ruang untuk hadir, jadilah tawa dan tangis Q  drama tersendiri bagi sepasang cicak yang menunggu nyamuk bernasib tak baik hari ini melintas 2 cm darinya.

Takjub. Selalu itu yang kurasakan saat kembali menyadari bahwa kami bukanlah dari darah yang sama, namun kami tak henti saling mencari dalam basa basi hidup. 

“eh, manai itu amma nah, nda pernah kuliat…” tanya imace suatu hari.

“ kemarin ku telfon, katanya lagi sakit q kodong, kelelahan mungkin.” Jawabku setahuku.

“ ayo pale pi liat q deh,, sudah lama ka juga nda ketemu..” 

 Aku tersenyum. _ Persahabatan itu selalu dilakoni rindu dengan klimaks ingin bertemu._
----

Klise sudah jika hanya sekumpulan paraghraf kisah tawa dan air mata dalam persahabatan yang ingin ditulis, ada yang lebih menggodaku dalam persahabatan ini, yaitu diriku sendiri.
Lebay? Tidak juga,,, yang ingin kukatakan adalah tentang kepribadian.
 
Itu karena sebuah penggalan kalimat yang tertulis dalam Manhaj At tarbiyah Al islamiyah oleh Muhammad Quthb yang berbicara tentang lapisan kepribadian manusia; ada orang yang bisa mempesona kita dalam pertemuan pertama , tapi kemudian menjadi tidak menarik dalam pertemuan selanjutnya, karena seluruh pesonanya adalah pada fisiknya. Sebaliknya , ada orang yang biasa-biasa saja dalam pertemuan pertama, tapi semakin dalam kita mengenalnya, semakin jauh kita tertarik.

Dalam dinamika hubungan yang ku bangun dengan orang2 di sekelilingku, lapisan kepribadian yang manakah aku? itu mengusikku hingga menjelma curiga-curiga tak beraturan yang kekanak-kanakan. 

“ah, mungkin sebenarnya nda nasukaka’,, pura2 baik ji itu di depanku..” 


Nah ? Kanak-kanak bukan? Tapi seperti itulah pikiran melankolis yang bermain-main denganku. Lalu keinginan menyederhanakan maksud dari “kepribadian” mempertemukan ku dengan kalimat “ bahwa kepribadian itu adalah nama lain dari kebiasaan-kebiasaan kita.”
Aku mengerti. Bagaimana kebiasaanku jika bersama mereka, itulah aku bagi mereka. 

 Namun begitu, tetaplah inginku tuk menjadi lapisan kepribadian dalam opsi yg kedua bagi mereka,  sebab terkadang aku tidak bisa memberi kesan di pertemuan pertama, maka semoga di kesempatan lain, kepribadianku yang lain tidak membuat mereka menyesal karena mengenalku.
----