Mengingat
sesuatu, tak selalu mudah jika itu hanya hal kecil yang telah lapuk di makan
waktu. Tapi terkadang kita lupa bahwa banyak hal-hal kecil dalam hidup kita
yang ‘kan menjadikan kita besar di kemudian hari saat kita mengingatnya.
Aku menyadari
itu jauh setelah setumpuk buku diary menjadi ‘sesuatu’ paling ku cintai dalam
hidup ku. Diary, aku mengenalnya ketika aku mulai mengenal hidup yang tidak
lagi sederhana seperti saat kanak-kanak. Seingat ku, sejak duduk di bangku
kelas 5 SD, aku mulai menuliskan diriku, pikiranku, hatiku, perasaanku, pada
lembaran kertas, saat itu belum ada buku khusus yang ku punya, hanya
menuliskannya di halaman terakhir buku-buku sekolah, atau dilembaran buku tua
yang tidak terpakai.
Jika saja
kusadari sejak awal jika tulisan-tulisan itu amat berharga, bahkan untuk sebait
kata bahwa “hari ini aku di hukum di kelas karena terlambat datang ke sekolah”,
aku akan menyimpannya dengan penuh hormat.
Diary, Kutayyib
(buku kecil), catatan harian, atau apalah namanya…
Biar kuberi
tahu pada kalian kawan, betapa ‘mereka’ adalah benda yang tidak bisa dianggap
mati meski tak memiliki nyawa….
Menuliskan riak
hati dan kelumit pikiran bukanlah hal sederhana, itu membutuhkan kejujuran tak
berbatas antara kita dan diri kita seutuhnya, jika kalian pernah menulis
catatan hati, atau jika memang kalian maniak buku diary sepertiku.. rasakan-lah
rumitnya membaca diri kita sendiri, itulah mengapa setiap huruf yang menyusun
kata lalu ber-metamormofosis menjadi kalimat dalam buku-buku diary kita adalah
sebuah peta keberadaan diri kita yang paling jujur, tak ada sekat
kepura-puraan, apalagi kebohongan.
mengenal persahabatan dan bertualang dalam suka-dukanya, kebahagiaan dihari lulus ujian, mendapat peringkat satu setelah sekian lama karatan di bangku peringkat 4, dihukum karena kenakalan selama menjadi santri arafah, dibenci, di kucilkan, dianggap pahlawan, di sebut pemimpin, di remehkan, menikah, ditinggal pergi mama, jatuh cinta pada suami, menjadi istri yang disayang, menjadi ibu yang mengasihi, sendiri, dan bersama....
Yah… kisah kita
tak pernah sama persis dengan kisah manusia lain, kita hidup dengan scenario kita
sendiri, kita pernah bahagia, tapi bentuk kebahagiaan kita tak sama, kita
pernah kehilangan, tapi rasa sakit kehilangan itu kita yang dapat mengukurnya,
kita manusia, merasai hal yang sama yang manusia lain rasakan, tapi berbeda
dalam tiap kisahnya, dan menuliskan kisah itu, tak ubahnya melukis diri di
dinding kehidupan, jika kita tak ingin orang lain melihat lukisan diri kita,
cukuplah kita yang melihat lukisan diri kita yang jujur itu, merapikan
bagian yang salah, menambahkan keindahan di bagian yang lain, agar kita mampu
mengukur diri, mendewasakan sikap, dan bijak memandang hidup.
yang masih tersimpan baik |
Seperti itulah
yag kurasakan, kawan…
0 Comments