“ de, jangan pernah berpikir tuk tinggalkan kakak…” ujarnya suatu sore, saat sinar senja menyusup masuk dalam bingkai jendela, menerpa wajah kami berdua yang sedang menikmati beningnya waktu.

 “saya? Kenapa saya akan berfikir seperti itu?” rasa heran menyerbuku.

“kakak takut ade tidak bisa bertahan, …” ujarnya pelan. Layu.

***

-Bertahan--, selalu membutuhkan alasan untuk itu. Mengapa seseorang ingin bertahan pada sesuatu. Dan apa alasan saya sehingga yakin dapat bertahan bersamanya sebagai “makmum” penikahan ini.  Pertanyaan itu amat sangat sederhana. Saya mencintainya dan dia, pun mencintai saya, meski dalam bahasa yang lain.


Tapi saya kemudian terusik pada keberadaan cinta itu sendiri. Bagaimana jika ia memudar, menguap bersama waktu, entah saya atau dia, siapa yang dapat menjaminnya?

Dan yah,,, bagaimana jika benar cinta kami luruh…

Saya sangat takut menanyakan ini pada diri saya sendiri, sebab bagi saya… cinta adalah pondasi. Selama ada cinta dalam hati kami, maka kami akan baik-baik saja, apapun yang terjadi.

Seseorang yang berpuluh tahun bersama karena cinta, apakah harus berpisah jika cinta minggat dari hati mereka? Apakah selalu itu yang terjadi? Konsekuensi dari cinta dan mencintai, apakah melulu soal hati? Apakah saya meletakkan cinta pada posisi yang salah dalam bangunan pernikahan kami? 
Lalu di mana seharusnya ia berada, sebagai tiangkah? Dinding atau atap?

Merenovasi sebuah bangunan pernikahan, membuatku terdiam. Rumit ternyata. Jika cinta sebagai pondasi, maka pernikahan kami rapuh. Sebab cinta bukan hal mendasar dalam sebuah pernikahan, Ternyata.

Saya kemudian mencari, apa yang membuat saya bisa bertahan, tidak rapuh apalagi goyah. Pelayaran kami harus menepi di gerbang syurga, kami akan membuka pintu istana kami bersama, itu adalah visi pernikahan yang saya pahat dihari ketika akad mengikat kami.

***

Keikhlasan.

Jawaban sederhana. Tapi sepertinya, itulah yang akan –dan harusnya-  menjadi pondasi.
Keikhlasan untuk tetap merajut hari bersamanya, dalam cinta atau tanpa cinta. Sebab, keikhlasan selalu dan selalu, berakhir pada kebaikan. Dan seperti yang kami harapkan, bahwa kami akan “baik-baik saja” sampai akhir.



Hati manusia, berada di antara dua jari RabbNya, 
Dibolak-balikkannya sekehendakNya,
Maka jika hati ini tak dapat menetap dalam cinta,
Tetapkanlah ia dalam keikhlasan
Sebab tak ada yang lebih kuat dari itu, bahkan cinta sekalipun.


 
# menjemput angka 5 dalam usia pernikahan ini. Semoga kami akan selalu baik-baik saja…