Sebenarnya, satu sisi saya sangat mencintai sepi. Hanya karena
lama tak menjamahnya, kemudian asing merasainya. Padahal ia adalah waktu di
mana aku dan diriku, hatiku, pikiranku menyatu tanpa sekat. ‘kami’ semua
berkumpul… memikirkan dan merasai hal yang sama tanpa ada yang hilang. Ah,
rumit menjelaskannya.
Tapi aku tiba pada titik ini : Memiliki.
Sepi membuatku memikirkan apa yang sebenarnya aku miliki.
Pagi ini, terbaring senyap di ruang kamar, tak ada gaduh di
dapur, denting kaca dan sendok sarapan pagi, deru mesin cuci yang berputar, desisan
minyak panas bertemu ikan berlumur asam, percakapan spongebob di tv, teriakan
fathi yang berlari sambil meminta izin untuk bermain, tangisan angga mencari
coklat bem-beng kesukaannya, dan tentu… nasyid ‘harokah’ favorit Qawwamku.
Sudah sangat lama, aku dan ‘hal-hal’ itu bersama hingga sepi
enggan berkunjung dalam hidupku. ini adalah pagi (yang seingatku) pertama
kalinya, sepi datang menjengukku setelah kurang lebih lima tahun pernikahan dan
riaknya membersamaiku.
Lalu aku memikirkan tentang semua yang telah kumiliki.
Bukan pada materi. Pada abstraknya sebuah keberadaan. Suami.
Anak. Cinta. Kebahagiaan.
Apa aku benar memiliki semuanya??
Ah, ternyata tidak. Aku tidak memilikinya. Aku, bahkan
diriku tidak saling memiliki. Hubungan kami adalah sebentuk titipan seorang
tuan kepada sahayanya. Yang berhak Ia ambil sekehendak inginnya.
Pun pada Qawwam, juga anak-anak yang telah lama mengusir
sepi itu. Mereka adalah titipan yang tidak pernah menjadi hakku memilikinya. Kami
adalah titipan pada masing-masing hidup kami. Untuk saling memberi yang terbaik
hingga tiba waktunya Tuan mengambil miliknya.
Maka, yang benar-benar kumiliki dalam hidup ini adalah apa
yang telah kuberi. Sejak dulu, dulu sekali… aku menyadari akan ini. Hanya saja,
semua titipan itu menggodaku untuk memiliki sepenuhnya. Membuatku lupa untuk
menyediakan sebuah ruang di mana waktu datang dengan takdirnya untuk mengambil.
Harusnya, di ruang itu pula, kelak, aku dapat menghadirkan
senyum. Bahwa aku telah menjaga titipan itu dan memberikan apa yang aku bisa
dengan sebaik-baiknya. Hingga (mungkin) sang Tuan rela jika titipannya kembali
padaku. Menjadi milikku. Di negri lain bernama syurga, yang luasnya seluas langit
dan bumi.
# Merenda sepi, sepulang mengantar kepergian Qawwam yang
kucinta dan Jendral kecilku di bandara menuju Bima.
0 Comments