Oktober selalu adalah bulan yang berarti bagiku. Waktu di mana aku menjadi bagian dari kehidupan. Hanya saja, yang paling kuingat dari oktober adalah kematian.

Saat seorang wanita yang dari rahimnya aku dilahirkan, pulang dengan sapuan senyum di bibirnya. Aku tidak akan lupa itu, dan lupa tidak akan pernah mengambil keping dari bagian terakhir saat  ibuku wafat. Sebab senyum terakhir di wajahnya itu, adalah kilatan dalam gelap yang mengabut di hidupku.

Tersenyum saat pulang padaNya, aku menyimpan cita itu rapat-rapat dalam azzamku. Ya, aku ingin tersenyum saat melepas semuanya, agar yang kutinggal tak usah demikian sedih melepasku, sebab aku telah bahagia di sisiNya. Seperti ketika Ibuku pulang.

Beginilah oktober padaku, dan aku padanya.

Tiap kali  tiba di bulan 10 ini, aku tahu, aku harus mengemas duniaku tak lebih dari segengam tangan yang dapat kulepas dengan ringan. Aku akan menarik nafas lebih dalam sebab Izrail tiba-tiba begitu nyata terasa di dekatku. Lalu rindu pada Ibu menjadi drama paling menyesakkan yang akan terulang. Begitulah tiap tahun.

Bagaimana tidak aku mencintai Oktober seperti mencinta kehidupanku dan merindu kematian seperti aku merindukan Ibuku. Dan tanpa kusadari, tiap tahun hanya ada oktober dalam hidupku. Kelahiran dan kematian, lalu aku di tengah, menuju waktuku.

Beginilah Oktober padaku, dan aku demikian mencintainya.