Sandal.
Itu benda paling menyesakkan untukku, ada kelebat kenangan Mama padanya.

***

Suatu siang, sebelum berangkat mengisi taklim, mama kebingungan depan pintu. Sandal lusuhnya yang telah beribu-kali ia injak dalam tapak langkahnya nampak memprihatinkan. Sandal yang telah dijahit itu nyatanya telah sekarat, Ia bingung, antara memakainya dan menerima resiko putus di tengah jalan atau memakai sandal milikku yang tentunya sempit untuk ukurannya.

Mama putuskan memakai sandalku, dan tiba saat pulang, genap deritanya. Sandalku yang dipakainya putus, dan lagi, tumitnya perih dihimpit.

Kala itu, ada janji sederhana dalam hatiku. Dekat ini, dari uang tabunganku harus berbuah sandal untuk mama. Tapi itu masih tetap janji sederhana yang (mungkin) tak akan pernah tunai. Rencana pernikahanku mengundang banyak kebaikan, beberapa anggota taklim memberi apa yang dapat mereka beri. semuanya terpenuhi, bahkan sandal..... itu tak lagi masalah.

Aku lupa janji sederhana itu. Mama jua pulang dengan cepatnya. Entah langit yang terlampau rindu padanya hingga memintanya kembali segera. Semoga itu alasannya. Berlalu hari kelabu dalam kehilangan, dan suatu malam aku memimpikannya.

Mama terlihat buru-buru, ia harus pergi. Aku menahannya depan pintu, kubujuk ia tinggal sebentar lagi, aku akan keluar membeli sepasang sandal untuknya, seperti janjiku kala itu.

Ia tersenyum. Orang-orang mengatakan, seorang yang telah neninggal tidak dapat berbicara dalam mimpi kita. Tapi mama, ia berbicara padaku, tulus......

"Sudah nak, cukup semua kebaikanmu selama ini... itu saja..."

Aku menangis melihatnya pergi. Saat terbangun, air mata membasahi duniaku. Aku kehilangan dirinya, berulang kali. Dalam mimpi, dalam rindu. Dan sakitnya tetap sama.

Hanya, apakah janji sederhana itu telah tunai, Mama?

***

Malam di puncak gelap, menjelang hari berganti 5 Februari '14