Aku ingin meletakkanmu sejenak di sini. Dalam hatiku. Mencakapi rupa-rupa kenangan, mengajaknya pulang pada waktu yang sisa.

Aku selalu berfikir, Tuhan juga pandai mencanda. Dengan Maha Baiknya, Ia tulis namamu dalam takdirku jauh sebelum adaku. Siapalah aku ini, hingga pantas sebahagia ini dengan kehadiranmu. Kalaulah Tuhan sedang bercanda, aku tentulah mainan yang memang suka dimainkan kalimat "Kun"-nya yg sakti itu.

"Kun!" ..... Kau ada.
"Kun!" ..... Kita bahagia.
"Kun!" ...... Ada yang pergi.

Lalu bersisa pilihan untuk kita, seperti cinta yang selalu hanya menyisakan dua hal : saling mengenang atau melupakan.

Tapi, bagaimana aku melupa, segalaku adalah kertas bertuliskan dirimu yang lebur dalam genanganmu. Aku bukanlah aku jika tidak denganmu. Sedang segala kata memuntahkan tinta, tetaplah bukan hakku memaksamu mengerti....

Aku takut, kadang....

Takut pada hatiku yang dipenuhimu. Sementara pertemuan selalu meniscayakan perpisahan, dan juga hati, tak pernah menjamin cinta duduk setia disisinya. Ah...

Satunya hal yang mungkin dapat dilakukan hati adalah setia mencintai kenangan. Bagaimanapun takdir, hanyalah goresan pena Tuhan dalam lembar-lembar hidup. Masih selalu bersisa pilihan bagi cinta untuk hidup seperti apa...

Tibalah, jika cinta menjadi lebih rumit dari derita, aku akan mencuri dirimu dari kenangan. Mengajaknya rebah bersisian denganku, menikmati angin pertengahan musim.

............... Mensyukurimu, mensyukuri takdir, mensyukuri bahagia, dan mensyukuri kenangan.
Dengan itu, aku akan hidup lebih lama...

¶ Dari cintaku yang buncah, 5 Februari '14.