Judul tulisan ini diambil dari sub-judul pada halaman 299 yang ada dalam buku THE COURAGE TO BE DISLIKED karya Ichiro Kishimi & Fumitake Koga. 


Versi Indonesia dengan Judul Berani Tidak Disukai menambahkan catatan kecil di bagian atas bertuliskan: “Marie Kondo, tapi untuk jiwa– HelloGiggles” menjadi alasan paling kuat saya tertarik membaca buku ini. Marie Kondo dengan seni beberesnya masuk dalam list penulis yang mengubah banyak hal dalam hidup saya.


Secara keseluruhan, setelah membaca buku karya Ichiro Kishimi & Fumitake Koga ini, saya seperti membaca tafsir ayat-ayat Al-qur'an dalam tinjauan psikologis dan juga filosofis. Metode penulisan dengan model percakapan 2 orang ini menjadikan siapapun yang membacanya seperti hadir dalam meja dan duduk bersama mereka. Saya harus mengakui, bahwa sepanjang waktu membaca buku ini, saya bahkan merasa bukan sebagai orang ketiga dalam buku tersebut, melainkan orang yang benar-benar duduk berhadapan dengan sang Filsuf. 


Pergulatan fakta kehidupan dan teori psikologi Adler yang dipaparkan dalam buku ini pada akhirnya membawa saya pada titik paling terang di halaman 299 tentang gagasan untuk hidup bersinar hari ini, terlepas dari segala yang telah terjadi di masa lalu dan kemungkinan masa depan. 


Buku ini secara lembut namun tegas menjungkir balikkan semua pertentangan batin yang saya alami di usia menginjak 30-an tahun ini, ketika kehidupan menjadi lebih rumit untuk dicerna, ketika begitu banyak ekspektasi berbenturan dengan kenyataan, ketika kehidupan masa lalu masih menjadi tali yang mengikat dan masa depan seperti fatamorgana yang menipu. Yap! Saya dihinggapi dua rasa sekaligus ketika usai membaca buku ini : menyesal sekaligus bersyukur. 


Menyesal karena baru menemukan buku ini. 

Dan bersyukur karena telah menemukannya.


Seperti yang saya katakan sebelumnya, bahwa gagasan yang dituangkan dalam  buku ini seperti tafsir Al-qur’an meskipun ditulis oleh non muslim, namun nilai-nilai yang dituangkan tidak satupun yang mengiris nilai-nilai dalam Islam. 


Sebagai contoh, dalam Islam kita diajarkan tentang nilai tertinggi dari seorang manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat. 


Gagasan psikologi Adler dalam buku ini persis sama menempatkan “kontribusi kepada sesama” sebagai nilai hidup paling dasar yang akan meruntuhkan rasa tidak berarti yang seringkali menghinggapi manusia. Dalam artian seperti ini: kita, seringkali mengejar ekspektasi kehidupan yang terlampau tinggi hanya untuk “terlihat” bernilai di hadapan manusia, kita melakukan segala upaya sampai pada titik kita merasa tidak berarti sama sekali jika target hidup yang kita kejar tidak tercapai. Nilai kesuksesan yang kita terapkan dalam hidup dilandaskan pada penilaian orang lain, singkatnya…. Kita menipu diri dengan alasan untuk mencapai kesuksesan padahal hakikatnya kita sedang berusaha untuk tidak cacat dalam pandangan orang lain.


Padahal, tanpa menjadi apapun, kita tetaplah berarti dengan hadir pada setiap moment kehidupan dengan penuh dan sungguh-sungguh. Ya, kita tidak perlu menjadi sesuatu untuk kemudian merasa berarti. Kita hanya perlu hidup pada hari ini, saat ini, dan mulai menari riang menjalani kehidupan dengan sungguh-sungguh tanpa harus terbebani tentang “menjadi apa aku nanti”. Itu saja.  


Saya kemudian menyadari, bahwa impian saya terlalu banyak dan telah mengalami masa panjang penundaan karena pada dasarnya saya selalu menunggu waktu yang tepat, padahal waktu yang tepat itu adalah saat ini. Saya tidak perlu terlalu ambisius atau bahkan menyiksa diri dengan memaksakan kehendak, yang harus saya lakukan hanya menjalani hari dengan tulus, mengerjakan hal-hal kebaikan yang saya mampu, mendedikasikan hari itu sebagai hari paling baik dalam hidup saya. 


Ini benar-benar hanya masalah hati. Dalam Islam, kita menyebutnya Iman. 


Ya, Iman membuat kita tentram.  

Karena dalam Islam, keimanan tidak berkonotasi dengan harta, pangkat, kesenangan hidup, atau penderitaan hidup. 


Iman, hakikatnya bukan hanya keyakinan dalam hati namun bagaimana keyakinan itu hadir dalam hubungan interpersonal kita dengan makhluk yang lain atau, kontribusi pada sesama. Inilah amal sholih

Lalu kemudian moment berkontribusi itu diikat dengan cara-cara yang baik. Inilah akhlak. 


Nah, psikologi Adler memiliki gagasan bahwa cara kita membangun hubungan dengan orang lain tidak dipengaruhi atau dilandaskan oleh luka masa lalu, harapan balasan kebaikan, ataupun sebab-akibat.


Hubungan kita dengan orang lain murni karena kita menerima diri kita.

Dalam Islam, ketika seseorang telah bersyahadat, maka ia menerima dirinya sebagai hamba, hamba seperti apa? Hamba yang muara segala hidupnya adalah untuk mencapai Ridha Allah. Inilah landasan kita membangun hubungan dengan sesama. 


Jadi, meskipun pada orang yang tidak kita kenal, meskipun kepada orang yang telah melukai kita, meskipun pada orang yang tidak akan membalas kebaikan kita, tetap saja kita bisa menghadirkan kebaikan kepada mereka. 


Kontribusi kita bukan lagi hubungan sebab-akibat, melainkan nilai diri sebagai hamba Allah Ar-rahman. 


MasyaAllah, Alhamdulillh.

Banyak hal menarik dalam buku ini yang berulang kali membuat saya berhenti membaca lalu tertegun lama… mungkin karena selama ini saya merasa sebagai hamba tapi tidak benar-benar paham nilai diri seorang hamba. 


Buku yang saya baca ini pinjam dari perpustakaan SPIDI, tapi saya menjanjikan diri saya untuk beli sendiri dan menjadi koleksi perpustakaan pribadi. Sangat menyenangkan membacanya meski berulang kali. 


***

Ditulis dalam sunyi ruang kelas 301, SPIDI.

Langit mendung, 21/02/2023.