Home
Archive for
September 2012
Mengatar Dengan Ini.
Tulisan ini, heheh… entah mengapa ingin membuat tulisan ini.
Allahumma
yassir..@ bandara sultan hasanuddin,menuju jakrta..
Sebuah rasa syukur tiba-tiba hadir di hati saya membaca
statusmu itu,,, syukur juga sesal. Sehari
sebelumnya saya masih melihatmu duduk di Ga’de Daeng bersama Male,
Mama, dan juga entah siapa… sayang saya melihatmu dari balik kaca mobil,
bahkan untuk menyapa sebelum kepergianmu juga tidak kulakukan.
Rasa syukur itu bukannya karena tidak akan melihatmu lagi,(
saya benar-benar jahat jika seperti itu… ), rasa syukur itu seperti sebuah
kelegaan dari memahami tahun yang kamu
lewati hanya berdua dengan cha-cha, huah… itu adalah hal terberat dalam versi
saya sebagai seorang istri. Dan kamu melewatinya dengan sabar, mungkin itu
adalah bagian dari anugrah suami bernama Sabar… heheh..
Sejujurnya, saya kaku jika menuliskan sesuatu secara khusus
untuk seseorang, laku melankolis saya kambuh dan hampir membekukan seluruh yang
ingin saya ucapkan, tapi sungguh, saya ingin menulis ini… secara khusus, dari
dalam hati saya… untuk seorang teman yang menempuh hidup baru “kedua” dalam
hidupnya. Sebab saya tidak dapat
memberikan hal yang lain, saya tidak tahu bagaimana menjadi teman yang baik,
bahkan untuk melepas kepergian sementara seorang teman karib… :(
Saya sangat tahu, atau mungkin saya sok tahu, ima yang saya
kenal tidak suka cara lebay seperti ini… tapi hanya ini yang benar-benar bisa
saya lakukan untuk mengantarmu menjejaki hidup baru di negri orang,…
Mungkin akan ada kesulitan di sana, orang-orang asing, tempat tinggal asing, bahasa asing… tapi keberuntungan menjejaki sebuah negri lebih besar dari keterasingan yang biasa itu. Tidak akan lama ketika kamu menjumpai sahabat yang seolah telah lama mengenalnya, saudara yang merasakan sakit ketika kita terluka, dan yang ikut tersenyum jika kita bahagia. Lebih dari apapun, segalanya akan terasa lapang dan baik-baik saja jika bersama suami… :) Allahu ma'ak...
Ah, bagian terpenting dari tulisan ini sebenarnya adalah
harapan besar saya, bisa merasa dekat meski jarak itu membelah waktu dan ruang
kita. Saya akan selalu menunggu kabar dari hidup indahmu di sana, kembalilah
menulis seperti saat santri dulu, (menulis ini saya kembali pada kenangan saat
mencungkil buku diary yang selalu kamu simpan semberono itu.. hehe), yah, saya
rindu untuk kembali membaca hidup sahabat-sahabat saya. Itu lebih mengesankan
dari membaca kehidupan sepuluh (??) murid Belitung yang di tulis Andrea Hirata,
bagiku, kisah seorang sahabat adalah bagian terbaik yang pernah saya baca, itu
karena kalian amat dekat. Tak jauh untuk saya mengukur diri sebab kita telah
menghabiskan berpuluh tahun dalam ruang kelas yang sama dan menjejak tanah
kanak-kanak, remaja dan “hampir” dewasa juga bersama…
Saya menunggu kabar. Selalu.
Salam untuk Kak Sabar dan Cha-Cha, semoga adiknya cepat
nyusul.. ^^
# catatan kecil, mencoba mengantarmu dengan layak...
Madinah, tempat dengan jejak sejarah yang tak habis, semoga sejarah hidupmu pun tercipta indah di sana...
Madinah, tempat dengan jejak sejarah yang tak habis, semoga sejarah hidupmu pun tercipta indah di sana...
Mimpi
Sebuah mimpi, terkadang adalah tali yang mengikat hamba pada Rabbnya... membentuk sebuah simpul bernama Ikhtiar dan Tawakkal. Dua nafas panjang yang akan selalu membuatmu hidup. Tidak ada gagal bersimbah air mata. yang ada adalah "terima kasih " untuk segala takdir terbaik dariNya.
(Rafiah. H 10'9'12)
(Rafiah. H 10'9'12)
Seorang Adik.
Adik.
Sudah lama tidak melihatnya. Seorang adik yang kesepian nun
di tanah Manado sana, kabar terakhir kudengar ia sedang mengukuhkan diri
sebagai lelaki... tak ingin jadi beban hidup lagi, maka ia mulai menyadari arti
tetesan keringat seorang lelaki.. bahwa lelaki tanpa jerih payah akan
dicampakkan kehidupan. Itu pasti... tentu.
Masihkah saya kakaknya? Saya tidak selalu bisa mengingat
hari ultahnya, ah... bahkan bodohnya, saya tidak tahu berapa umurnya kini, yang
kutahu... ia sedang beranjak dewasa, melangkahi kelabilan masa remajanya.
Ada sebersit ngilu saat membaca pesan yang ia kirim lewat
FB, baru saja...
“Saya tidak akan
pulang kecuali 2 hal kak, pulang dengan cita-cita, atau dengan jasad tanpa
nyawa. Panggil saya pecundang jika pulang tanpa apa-apa...”
Sedikit saja, sebelum saya mulai akut pada sisi melankolis
diriku...
“Sebesar apapun kesalahan yang pernah kau perbuat, Kasih
sayang Allah dan AmpunanNya, sungguh lebih luas dari langit dan bumi... tetaplah
melangkah, setiap kali matahari terbit, itu adalah hari baru untukmu, jangan
kotori ia dengan salah masa lalu...”
Ah, adikku, semoga Allah senantiasa menjagamu, seperti nama
yang dengan penuh cinta diberikan Bapak dan Mama. Hifzullah.
Kakak.
Kakak.
Bagi adikku, saya kira itu bukan lagi aku.
Mungkin baginya aku adalah ibu. Sejak ibunya dan yang kusebut mama telah pergi.
Adik.
Kukira kau bukan lagi adikku.
Mungkin adalah anak-anakku. Juga.
Agar tak ada yang menyebutmu piatu.
Kutahu sebutan itu selalu menyisa perih di sudut hatimu
"Kakak"
Jangan sebut aku seperti itu jika kau merasa tak sempurna sebagai seorang anak.
Sebut aku ibumu, adikku...
Agar tak ada kehilangan dalam hidupmu.
Sebab yang engkau butuhkan bukanlah seorang kakak
Tapi, Ibu. Selalu.

Mungkin baginya aku adalah ibu. Sejak ibunya dan yang kusebut mama telah pergi.
Adik.
Kukira kau bukan lagi adikku.
Mungkin adalah anak-anakku. Juga.
Agar tak ada yang menyebutmu piatu.
Kutahu sebutan itu selalu menyisa perih di sudut hatimu
"Kakak"
Jangan sebut aku seperti itu jika kau merasa tak sempurna sebagai seorang anak.
Sebut aku ibumu, adikku...
Agar tak ada kehilangan dalam hidupmu.
Sebab yang engkau butuhkan bukanlah seorang kakak
Tapi, Ibu. Selalu.
# Sakit, sangat sakit melihat kalian merindu mama, adik-adikku...
Langganan:
Postingan
(
Atom
)